Ibu, Bunda, simbok, Sibu, Mami, Mama, Emak atau apapun sebutannya bagi orang yang telah melahirkan kita di dunia punya tempat tersendiri di hati kita. Aku merasa beruntung dilahirkan dari rahim seorang ibu yang super duper.
Ibuku bukan dari golongan balung gajah ( orang
kaya ). Masa kecil ibuku ngga seindah masa kecilku. Di usia 10 tahun ibu sudah
yatim piatu.Ia dirawat sama Budenya hingga ia menikah. Alhamdulillah ibu bisa
menyelesaikan sekolah perawat di tahun 1958. Setelah menikah diboyong Bapak ke
Jakarta. Sayang belum genap 5 tahun usia perkawinannya, prahara datang yang
harus memisahkan kami dan Bapak.
Hiks politik sungguh kejam. Kami harus hidup
dari nol lagi. Kami mengontrak rumah sederhana berdinding bambu dan berlantai
plesteran ( semen yang dicor di lantai ). Ibu dari suster di rumah sakit, beralih profesi walau tidak terlalu beda
jauh, yaitu jadi mantri keliling di bawah yayasan balai pengobatan. Bermodal
jarum suntik, obat dan sepeda onthel, ibu keliling kampung door to door mengobati orang sakit. Para tetangga dan pasiennya
memanggilnya Bu Jeksi.
Sejak kecil kami sudah dibekali dengan ilmu
agama Islam. Pagi sekolah negeri, siang sekolah madrasah. Padahal pengetahuan
agama Ibu sangat dangkal, Ibu ngga bisa mengaji, belajar sholat juga baru saja setelah
terjadi prahara. Tapi Ibu ngga ingin anak anaknya bodoh seperti dia yang telat
belajar agama Islam. Semangat ibu membesarkan kami sangat luar biasa. Ibu ingin
anak anaknya sehat, sekolahnya pintar dan tidak mengalami nasib seperti dirinya
dahulu yang serba kekurangan baik kasih sayang maupun materi. Untuk menggapai
semua itu Ibu rela berpanas ria dan bermandi peluh.
Ibu mendidik kami dengan cara yang semi
otoriter, adil dan penuh kasih sayang. Ibu seorang yang tegas dan pemberani,
selain itu jiwa sosialnya sungguh luar biasa. Tapi ibu juga manusia biasa yang
kadang tak sempurna. Ibu suka ceplas ceplos dan kalau bicara tidak tedeng aling aling kata orang jawa. Jadi
ada saja yang tersinggung dengan ucapan Ibu. Untungnya Ibu mudah minta maaf, tidak
pernah dendam.
Ketika kami beranjak remaja, kami sudah punya
tanggungjawab terhadap diri sendiri, dan Ibu mengajarkan bagaimana cara
berbakti kepada orang tua, menjaga diri, dan selalu memompa semangat kami untuk
meraih mimpi. Aku sebagai anak sulung merasa paling disayang oleh Ibu. Ibu
menjadikan aku sebagai sahabatnya. Jadi aku tahu persis hati, perasaan dan
pikiran ibu. Aku tumbuh dewasa sebelum waktunya karena Ibu mengajari bagaimana
bertahan dalam kerasnya kehidupan. Aku harus mandiri dan siap bila kelak harus menghidupi keluarga, tidak tergantung pada suami.
Kasih sayang Ibu untuk anak dan cucunya seluas
samudera. Ibu rela mengorbankan hidupnya untuk kami. Ibu rela menikah hanya
demi status. Karena predikat janda saat itu sangat dilecehkan. Padahal aku tahu
persis Ibu tidak bahagia. Ibu hanya butuh status kalau ia punya suami. Sedang
kebutuhan kami semua Ibu yang memenuhi.
Kebersamaanku dengan Ibu sungguh mesra apalagi
di saat ibu menua dan digrogoti penyakit. Kerja kerasnya di masa muda harus
dibayar mahal. Ibu mengidap hipertensi, DM, asam lambung dan Ibu juga terkena
stroke ringan. Penyakit itu bersahabat cukup lama dengan Ibu. Semangatnya untuk
sembuh juga luar biasa Keadaan Ibu yang stroke ringan dan ada panggilan untuk
menunaikan ibadah haji, justru membawa keberkahan pada diriku. Karena adikku
berkenan membiayai kami berempat ibadah haji di tahun 2006.
Ibuku adalah dosen di universitas kehidupanku.
Ibu yang mewarnai langkah, prinsip, hati dan diri ini. Ajarannya, doktrinnya,
membuatku tegar ketika tertimpa badai, membuatku tabah ketika kehilangan,
membuatku mampu menjadi diriku sendiri dan berusaha taat dengan hukum Allah.
Tanpamu aku bukan siapa siapa.
Ibu, kau sudah 8 tahun meninggalkan kami
dengan kenangan yang tak mungkin hilang dari kehidupan kami. Seperangkat
furniture yang ada di kamarku hadiah perkawianan kami masih awet dan berguna
hingga saat ini. Perlengkapan masak dan makan yang ada di dapur juga warisanmu
yang sangat bermanfaat, termasuk ilmu kehidupan yang kau berikan padaku rasanya
tak sanggup kubalas.
Ibu, kini hanya untaian doa panjang setiap
selesai sholat yang bisa kuhadiahkan sebagai baktiku padamu. Mengunjungi dan
berbagi dengan kerabatmu, dan meneruskan asa dan citamu yaitu agar cucumu
meraih sukses di dunia dan akherat. Aku ingin menjadi istri yang solehah dan
mbah Uti yang bermanfaat untuk orang lain.
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera.
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera.
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
BalasHapusSegera didaftar
Salam hangat dari Surabaya
Njih Pakde, akhirnya setelah berjibaku berhasil juga.Alhamdulillah
Hapusbarokallah untuk ibunya mba. Ibu itu sosok yang selalu rela berkorban n berpayah-payah untuk anak-anaknya
BalasHapusmba@Sarah jzklh sudah singgah dan apresiasinya tuk kisah Iu ini.
HapusBarokallah...
BalasHapusTerima kasih selalu ada spesial kenagan buat sosok ibu ya.
HapusHah ... Wah ... Ibu yang hebat mba.
BalasHapusSosok ibu mewarnai kehidupan kita dan selalu bangga sekaligus terharu dengan perjuangannya
HapusSungguh ibu kita memang tiada duanya ya. Sosok ibu akan selalu ada di hati kita meskipun beliau sudah tiada.
BalasHapusYa tinggal doa dari anaknya yg soleh dan solehah dan mau mendoakan di setiapa wal doanya sesudah sholat.
Hapus